News Update :

My Blog List

Blogspot dan lainnya

Sample Text

Text Widget

Categories

Labels

Labels

Pages

Powered by Blogger.

Moto GP News

Basketball News

Formula 1 News

Air Mata untuk Fatmawati

Tuesday, June 28, 2011

Malam itu begitu terasa aneh, tidak seperti biasanya. Sehabis shalat Isya biasanya aku makan, namun waktu itu rasanya tidak nafsu sekali untuk makan. Padahal maghrib tadi hanya makan es buah saja sebagai pembuka puasa sunah. Entahlah apa yang sedang aku rasakan saat itu, sehingga rasanya malas sekali untuk makan. Sehabis shalat isya, aku baringkan tubuh yang telah lelah seharian bekerja di atas sajadah yang masih tergelar. Seperti itulah yang sering aku lakukan setelah Isya. Rebahan di atas sajadah yang masih terhampar, memiliki rasa yang begitu nyaman dibanding rebahan di atas ranjang.

Ketenanganku membuyar setelah terdengar ada panggilan masuk dari Handphone. Aku lirik sebentar ke layar HP, dan di situ jelas bahwa itu adalah nomor saudara sepupu aku yang sedang berada di rumah sakit untuk menjaga adikku.

“Assalamu’alaikum Wr Wb.” Sapaku seketika itu juga.

“Alaikumussalam Wr Wb. Lagi apa mas?” Sepupuku menjawab dan menanyakan aktifitas yang sedang aku lakukan saat itu. Dia memanggil aku mas, karena dari unggah-ungguhnya, meskipun usia aku lebih muda, tapi tetap dipertuakan.

“Ngga lagi ngapa-ngapain. Biasa lagi tiduran aja. Oya, gimana keadaan adik? Ada perkembangan apa hari ini?” Tanyaku kepada sepupu penuh cemas akan perkembangan adik yang sedang dirawat di rumah sakit.

“Mas bisa pulang sekarang juga nggak. Kayaknya adik kondisinya makin memburuk”

Runtuh seketika hatiku saat mendengar jawaban dari sepupu kalau keadaan adik makin memburuk. Kekuatan yang ada pada diriku seolah hilang entah kemana. Rasa lemas begitu menyebar ke seluruh tubuh. Tak ada daya untuk berdiri sekalipun. Mata mulai berkaca-kaca, dan air matapun kini mulai mengalir tak mampu untuk bisa dibendung.

Aku mencoba untuk bertahan. Sekuat tenaga aku berusaha untuk bangun dan bergerak. Perlahan aku menata hati untuk bisa tenang. Allah, ya… Hanya dengan selalu mengingat Allah, hati akan menjadi tenang. Perlahan aku bangun, bergerak menuju ke kamar mandi untuk ambil air wudhu. Namun di kamar mandi hampir saja pikiranku kosong lagi sehingga aku sedikit sempoyongan bahkan hampir terjatuh. Namun lagi-lagi aku perlahan untuk bisa lebih menata hati lagi.

Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Aku harus segera berangkat menemui adikku di rumah sakit. Dia sedang membutuhkanku. Harapanku saat ini hanya semoga saja masih ada bus yang akan membawaku ke tempat adik berada. Dengan membawa keperluan secukupnya, kulangkahkan kaki menuju terminal. Perjalanan ke terminal biasanya ditempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam.

“Mau kemana mas?” Sapa salah seorang kondektor bus yang memang tugasnya mencari para penumpang yang mau menggunakan jasa busnya. Dari seragamnya aku sudah paham, bahwa itu adalah seragam dari perusahaan bus yang menjadi favorit saya.

“Aku ke kota pak, masih ada bisnya?” Jawabku sambil berharap semoga masih ada bus yang akan mengantarkanku nanti.

“Oh, ya masih ada tuh, tinggal satu ini berangkat terahir nanti jam 10. Mari ikut saya.” Jawab kondektur bus itu ramah. Kemudian mengantarkan aku menuju bus itu.

Alhamdulillah, lega rasanya dan aku bersukur mudah-mudahan ini pertanda baik dari Allah karena masih diberi kemudahan untuk bisa segera mungkin menemui adik. Padahal waktu akan berangkat tadi, aku begitu hawatir bagaimana kalau sudah tidak ada bus nanti. Bahkan sempat juga berfikir menunda sampai besok saja berangkatnya.

Tiket sudah di tangan, kini tinggal menunggu jam pemberangkatan saja. Malam begitu sunyi, bahkan di terminal yang biasanya ramai saja kesannya sudah sangat sepi mengingat waktu itu juga sedang turun hujan.

Pukul 22.00 WIB bus berangkat, melaju melintasi gelapnya malam, dinginnya udara dan dibawah rintikan sisa-sisa hujan. Aku hanya duduk termenung sambil memandang ke luar melalui kaca-kaca bus. Rintik-rintik hujan juga kadang membuat pandangan jadi gelap. Bayanganku kini hanya tertuju pada adik seorang. Aku coba untuk memejamkan mata seperti orang-orang yang disekelilingku, namun aku tak mampu. Adik, adik, dan adik saja yang terus membayangiku saat itu. Bahkan tak terasa air mata pun mengalir membasahi pipi.

“Sabar ya dik, mas akan segera datang. Adik yang kuat ya. Besok insya Allah mas sudah berada di samping adik.” Gumamku dalam hati berusaha untuk menguatkan diri juga.

Bus malam masih melaju dengan kencangnya. Lalu lintas kelihatan cukup lancar sehingga tak ada halangan untuk bus melaju kencang. Pikiranku masih saja tertuju pada adik. Sambil mengingat-ingat betapa kuatnya seorang adik perempuanku yang dalam usianya yang masih begitu muda harus menerima cobaan begitu berat dari Allah SWT.

Mungkin karena begitu tegarnya, sakit yang dirasapun tak pernah dia beritahukan kepada orang lain. Tidak dengan ibu bapaknya, tidak juga dengan aku. Dia simpan sendiri rasa sakitnya dan tak mau orang lain ikut merasakan sakit yang sedang dia rasakan. Oh, adik, kenapa kau bersikap seperti itu?

“Nda kenapa-kenapa mas. Aku baik-baik saja ko. Mas ga usah khawatir. Mas ga usah mikirin aku. Mas konsen saja sama kerjaan mas”

Kalimat-kalimat itu yang selalu saja kau ucapkan ketika aku bertanya tentang keadaan kesehatan kamu. Dan bodohnya kenapa aku ga cukup perhatian kepada apa yang sedang dirasakan adik. Kakak macam apa aku ini?

Sampai akhirnya sosok yang begitu tegar itu pun dibuat tak berdaya oleh penyakit yang menyerangnya. Kanker ganasnya kini telah menggerogoti ketahanan tubuh adikku. Tak ada rona cerah di wajahmu, yang ada hanya tubuh yang lemas tak bertenaga. Tanpa berfikir panjang, kami semua membawamu ke rumah sakit terdekat dengan harapan akan ada pertolongan dari Allah lewat rumah sakit itu.

Namun karena kondisi kanker yang sudah termasuk berat, rumah sakit itupun menolak memberi perawatan dan memberikan rujukan ke rumah sakit pusat. Kami pun menuruti apa yang dianjurkan rumah sakit itu. Keesokan harinya kami bawa dia ke rumah sakit pusat.

Perasaan pesimis sebenarnya sudah menghantui aku waktu itu. Takut kalau saja di rumah sakit pusat pun sudah tak bisa menangani sakit adikku. Dugaanku memang benar adanya. Setelah pihak rumah sakit melakukan beberapa pengecekan, ternyata pihak rumah sakit juga merasa pesimis bisa mengatasi penyakit adikku. Namun ada sedikit harapan karena dokter ahli bilang, bisa dicoba mudah-mudahan ada campurtangan Tuhan dalam penangangannya nanti.

Selanjutnya adikpun mulai menjalani rawat inap di rumah sakit pusat. Banyak perkembangan yang terjadi selama menjalani perawatan di rumah sakit ini. Aku merasa bersyukur sekali. Kini senyumnya terlihat lagi, sudah bisa bercanda denganku lagi, dan tentunya tubuhnya kembali kelihatan tegar lagi. Subhanallah wal hamdulillah. Hanya itu yang bisa aku panjatkan atas perkembangan kesehatan adikku saat itu.

Setelah hampir menjalani perawatan 3 minggu, namun proses penyembuhan sakitnya masih membutuhkan waktu yang sangat lama, akupun memutuskan untuk berani meninggalkan adik di rumah sakit karena sudah pasti kerjaan yang telah lama aku tinggal pasti sudah makin menumpuk. Aku berani meninggalkan adik karena melihat dari perkembangan yang sudah sangat bagus. Aku yakin tak lama lagi adik akan sembuh dan segera kembali ke rumah.

“Alhamdulillah, sudah banyak perkembangan lebih baik sekarang. Jadi besok aku berangkat kerja lagi ya?” Pintaku pada adik.

“Iya mas, mas sudah banyak ninggalin kerjaan. Besok berangkat aja sana. Di sini ada ibu dan alhamdulillah aku sudah membaik ko. Ga kenapa-kenapa mas berangkat besok.”

Aku merasa tenang karena meninggalkan adik dalam keadaan yang sudah mulai membaik. Tak terbayangkan kebahagiaanku saat itu, membayangkan sebentar lagi adik akan kembali ceria berkumpul bersama keluarga di rumah. Aku pun menjalani rutinitas keseharianku dengan penuh semangat dan penuh senyum bahagia. Karena Allah telah memberikan anugerah yang luar biasa buat kesembuhan adikku.

Hampir satu minggu berlalu. Namun kebahagian itu sirna setelah malam tadi aku mendapat kabar dari sepupu kalau ternyata keadaan adik kembali turun drastis. Sekarang katanya adik sering tidak sadarkan diri. Makanya dia berharap aku segera datang.

“Ya Allah, berilah kekuatan kepada hamba dan juga buat adik hamba.” Kembali hatiku berdoa dalam heningnya malam jalan raya.

Tak terasa perjalanan malam yang panjang pun kini telah usai. Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB, aku telah turun dari bus malam untuk kemudian menuju stasiun dan melanjutkan lagi perjalanan dengan kereta api menuju kota tempat rumah sakit itu berada. Kurang lebih 3 jam perjalanan dengan kereta baru bisa sampai ke rumah sakit. Berdasarkan jadwal pemberangkatan, kereta api berikutnya yang menuju kota itu berangkat pukul 09.35 WIB. Aku masih ada kesempatan untuk mengejar keberangkatan kereta itu.

Namun kali ini sungguh di luar rencana. Setelah tergopoh-gopoh ke stasiun untuk mengejar keberangkatan kereta yang berangkat pukul 09.35 WIB, ternyata jadwal pemberangkatan kali ini dibatalkan karena rangkain kereta sedang dalam perbaikan.

“Mba, ini beneran pemberangkatan jam segini dibatalkan?” Tanyaku kepada petugas tiket KA untuk lebih meyakinkan.

“Iya bener mas, kan sudah ada pengumumanya di situ.”

“Terus ga ada gantinya gitu?”

“Ga ada mas. Kalau mau nunggu ya nanti pemberangkatan berikutnya pukul 12.30”

Seketika tubuhku langsung lemas. Aku pun langsung tertunduk lesu, menyandarkan badan di tembok. Pikiranpun kini makin kacau.

“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Mudah-mudahan Adik tidak apa-apa di sana. Ya Allah beri kekuatan padanya.”

Hanya kalimat itu yang bisa aku lakukan. Aku duduk lesu di emperan stasiun. Tak kuat rasanya badan ini untuk memaksakan diri jika harus secepat mungkin sampai ke rumah sakit. Perlahan mataku terpejam hingga tak sadarkan diri. Yah, bukannya pingsan, tapi aku tertidur di emperan stasiun, mungkin karena lelahnya setelah menempuh perjalan semalam.

Dalam ketenangan tidurku, tiba-tiba dibangunkan oleh nada SMS dari HP. Sontak itu membuatku kaget dan terbangun. Langsung aku raih HP lalu aku buka pesan tersebut. Oh dari sepupu.

“Mas, sudah sampai mana? Bisa cepat ga? Adik sudah nanyain?”

Begitu bunyi sms yang aku baca. Air mata ini kembali mengalir. Dengan badan yang gemetar aku berusaha untuk membalas sms itu.

“Ini lagi di stasiun. Tapi keretanya telat. Mungkin sore baru bisa sampai di RS. Tunggu aja.”

Tak berapa lama, sepupu membalas lagi.

“Ga bisa cepet mas, soalnya adik kayanya sudah ga sadar.”

Kalimat dari sepupu makin membuatku tak karuan. Aku bingung harus berbuat apa, sementara hanya kereta itulah yang bisa mengatarkanku ke RS. Aku hanya bisa pasrah pada Allah. Aku yakin masih ada kekuatan yang Allah berikan untuk adik.

Tak terasa waktu telah beranjak siang dan loket pembelian tiket kereta pun sudah mulai dibuka. Antrian kini mulai memadati loket pembelian. Tak berapa lama tiket sudah di tangan, tinggal menunggu waktu pemberangkatan saja. Aku pun langsung menuju kereta yang siap berangkat dan mencari tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera pada tiket.

Setelah menemukan kursi yang dimaksud, aku langsung duduk. Kebetulan kursi di sebelahnya masih kosong. Keadaan ini aku manfaatkan untuk merebahkan kembali badanku yang dirasa masih sangat capek. Tapi tak berapa lama, tiba-tiba ada suara yang membangunkan aku.

“Permisi mas, ini kursi nomor 12 yah? Kalau iya berarti saya duduknya di sini.”

“Oh, ya mas benar, maaf. Silakan…”

“Makasih mas.”

Aku rasa cuma itu saja basa-basi antara aku dan penumpang di sebelah. Karena setelah itu aku kembali terlelap sampai kereta berangkat. Bahkan riuhnya para pedagang asongan menjajakan dagangannya di dalam kereta pun tak bisa kudengar sama sekali. Ah, benar-benar hari yang sangat melelahkan, lelah badan dan juga lelah pikiran.

Tiba-tiba HP berdering tanda SMS masuk. Dari sepupuku lagi.

“Sudah sampai mana mas?”

“Ga tau, ini masih dalam perjalanan. Abis ashar kayanya baru sampai.”

Jawabku untuk kemudian kembali lagi terlelap dalam rasa kantuk yang tak tertahankan.

Sesekali juga aku bangun untuk kemudian melihat dan bertanya-tanya sudah sampai mana perjalanan ini. Waktu terus berlalu dan alhamdulillah sampai juga di stasiun tujuan. Tepat pukul 16.00 WIB kereta berhenti di stasiun tujuanku. Bergegas aku langsung dari kereta. Mengingat sudah waktu ashar dan aku belum melaksanakan shalat ashar, maka kuputuskan untuk melaksanakan ashar dulu di mushola yang berada di stasiun.

Begitu shalat selesai, aku kemudian mencari angkot jurusan yang melewati rumah sakit. Serasa mudah, karena di stasiun biasanya sudah banyak angkot-angkot yang standby di situ mencari penumpangnya. Aku pun segera menuju angkot warna merah itu yang nantinya akan melewati rumah sakit.

Tak seberapa lama, angkot pun penuh. Segera angkot melaju hingga sampailah akot itu melewati rumah sakit yang akan saya tuju. Dari seberang jalan aku turun dari angkot. Menatap luas betapa megahnya bangunan yang berisi para pesakitan itu. Dari seberang sana tampak saudara sepupu yang sudah menghadang di pintu masuk para penjenguk.

“Assalamu’alaikum, maaf baru sampai. Gimana keadaan adik, dirawat di ruang mana sekarang.” Sapaku sambil menjabatkan tangan pada sepupu.

“’Alaikumussalam. Adik ya begitulah mas, langsung aja yuk kita ke kamarnya.”

Dengan langkah yang aka cepat, aku dan sepupu segera menuju ke kamar tempat adik di rawat. Adik dirawat di lantai 2, namun tak begitu jauh dari pintu masuk pengunjung. Jadi tak butuh waktu lama aku sampai di kamarnya.

Begitu sampai di kamarnya,

“Assalamu’alaikum” Aku membuka pintu dan mengucapkan salam buat semua yang ada di dalam kamar.

“Wa’alaikumussalam” Jawab semua yang berada di kamar.

Terdengar juga suara adik, ternyata adik saat itu masih sadar dan begitu mendengar salam dariku, adik langsung mentapa aku dan meminta aku segera menghampirinya.

“Mas, sini mas. Aku kangen sama mas. Maafin aku ya mas jika sering merepotkan mas, maaf juga kalau sakit saya ga sembuh-sembuh. Aku minta keihlasan mas, kali aja ini yang terahir aku bisa bicara sama mas. Maaf untuk semua yang telah membuat mas jadi repot kaya gini.”

Sungguh tak kuasa aku menatap wajahnya. Bukan, bukan karena aku sombong atau tidak merespon ucapan adik. Tapi karena aku tak kuasa untuk menahan sedih yang teramat dalam, dan air matapun kini telah membendung di kelopak mata. Aku hanya ingin tidak kelihatan menangis di depan adik. Itu saja, aku tidak ingin menambah beban buat adik dengan kelihatan sedih di hadapannya. Pandanganku pun ahirnya aku jatuhkan ke arah luar jendela sana. Melihat langit sore yang begitu cerah dengan lembayung mega yang kejingga-jinggaan. Betapa besar kuasaMu itu ya Allah.

Aku hanya mendengar perkataan-perkataan adik dan sesekali mengiyakan dan menganggukkan kepala. Aku pegang erat tangannya. Sungguh untuk saat ini aku belum mampu menatap wajah cantikmu dik.

“Mas… aku sayang sama mas. Mas juga sayang kan sama aku. Peluk aku mas, cium aku mas… karena aku sayang banget sama mas.”

Hati ini begitu terguncang, dan entahlah aku harus bagaimana saat itu. Tak kuasa air mata ini aku tahan. Namun aku harus tetap kelihatan tegar di hadapan adik.

“Iya dik, aku juga sayang sama adik. Adik yang kuat ya, insya Allah besok kita pulang. Dan besok adik boleh ikut ke tempat aku, kita jalan-jalan bersama ibu bapak.”

Dengan hati yang teramat berat, aku memberanikan diri menatap wajah adik yang terbaring lemas, ku peluk dia dan ku kecup keningnya. Hatiku begitu menangis, dan tak terasa pipi ini pun perlahan dibasahi oleh air mata. Adik melihat itu semua, dan dengan tenangnya, diusapnya air mata yang membahasi pipiku.

“Mas ko nangis, mas ga boleh nangis. Aku ga kenapa-kenapa ko mas. Sekali lagi aku mau minta maaf ya sama mas, dan aku sayang banget sama mas.”

Kata sayang itulah yang terahir adik ucapkan secara sadar kepadaku. Karena setelah itu, adik kembali tak sadarkan diri. Ada suatu kebanggaan aku padamu dik. Aku bangga, sebab di saat adzan maghrib berkumandang, adik tersadar dan meminta untuk mengerjakan shalat. Adikpun minta untuk bisa ambil air wudhu, namun karena keadaan yang tidak memungkinkan, maka kami semua yang ada di situ melarang. Namun adik berusaha berontak untuk tetap ambil air wudhu. Aku ingat perkataan yang diucapkan waktu itu.

“Sekali ini aja, nanti tidak lagi-lagi ko. Sekaliiii aja.”

Mungkin itu sebagai pertanda bahwa adik tidak akan mengambil air wudhu lagi setelah itu atau apa, yang jelas karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk ambil air wudhu, maka adik kami suruh hanya untuk melakukan tayamum saja. Betapa cantiknya saat itu kamu dik. Antara sadar dan tidaknya, adik berusaha untuk tetap melaksanakan kewajibannya.

Roka’at demi roka’at adik kerjakan dengan khusuknya hingga sempurna. Bukan itu saja dik, aku ingat betul betapa adik saat itu dalam tidak sadarnya, adik seolah-olah mempraktekkan gerakan sedang mengenakan mukenah. Ya, saat itu adik dengan gemulainya memperagakan memakai mukenah untuk shalat. Padahal adik tidak memegang mukenah. Tapi adik seolah sedang benar-benar mengenakan mukenah.

Itu yang membuat kami semua bangga padamu dik, rasa haru itu tak tertahankan. Sehabis shalat pun adik minta aku untuk menemaninya mengaji. Ya, ayat-ayat Allah itu melantun dari mulutnya. Aku mendampinginya dari samping sambil mengikuti apa yang adik minta. Kita ngaji bersama dik. Aku tau keadaan adik sangat begitu lemah, bahkan untuk bicarapun sudah tidak bisa terdengar lagi. Makanya aku hanya membimbing adik untuk mengucapkan lafal Allah yang pendek-pendek saja. Namun apa yang kamu lakukan dik, kamu mencolek aku dan tetap meminta mengaji membacakan surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas. Meskipun tak ada suara yang keluar dari mulut adik, namun aku percaya, adik sedang ngaji di hatinya juga bibirnya.

Saat terdengar adzan isya pun sama. Adik meminta sekali untuk bisa ambil wudhu. Namun tetap kami larang. Hanya tayammum yang adik kerjakan. Hal yang sama juga terjadi saat sedang shalat maghrib. Adik seolah-olah sedang memegang mukenah dan memperagakan menggunakannya, dan kemudian adik shalat roka’at demi roka’at sampai selesai.

Sehabis shalat, adik bilang ke aku kalau adik capai dan ngantuk sekali. Adik ingin istirahat.

“Mas, aku ngantuk,. Aku mau tidur, tapi mas di sini aja ya. Ga boleh kemana-mana.” Begitu adikku bilang saat dia mau tidur.

“Iya, aku akan di sini menemani adik. Ya sudah, adik istirahat aja ya, biar besok sudah sehat lagi.”

“Oya, ini mukenahnya belum aku lepas, bentar ya aku lepas dulu.”

Rasa haru kembali hadir pada diriku. Adik seolah-olah masih merasa mengenakan mukenah yang dia pakai waktu shalat Isya tadi. Adik seolah-olah belum melepas mukenah itu dan rasanya tidak sopan jika harus tidur dengan masih memakai mukenah. Makanya adik mau melepas mukenah dulu sebelum tidur. Padahal jelas sekali saat itu adik sedang tidak mengenakan mukenah.

“Ini mas, tolong taruh mukenah ini di lemari lagi”

“Iya”

Aku menerima mukenah hampa dari adik. Iya, mukenah itu sebenarnya tidak ada, namun adik menganggap seolah-olah dia sedang memberikan mukenah kepadaku. Setelah itu, adik benar-benar tertidur. Tanpa bergerak lagi, tanpa bersuara lagi.

Aku hanya mendampinginya dari samping, dan betapa terkejutnya saat aliran yang ada di selang tiba-tiba berhenti.

“Astaghfirullah, ada apa ini. Alirannya berhenti. Suster, suster tolong suster..”

Teriakku sambil memanggil suster yang sedang jaga. Tak hanya suster saja yang datang, namun ada juga dokter jaga waktu itu.

Mereka pun segera langsung mengecek adik dengan seksama, dan…

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Yang tabah ya mas, bu. Ini sudah kehendakNya. Kita semua sudah berusaha semampu kita. Namun ada yang lebih kuasa dari kita. Ihlaskan semuanya”

Perkataan dokter langsung membuat suasana kamar itu penuh dengan isak tangis. Tak terkecuali aku. Ku kecup kening adik untuk yang terahir kali sebelum adik dikafani. Dalam suasana duka yang teramat dalam, aku harus tetap tegar, karena harus mengurus segalanya termasuk yang menyangkut rumah sakit. Juga harus mengabarkan kepada seluruh keluarga. Aku tak kuasa sebenarnya saat harus mengabarkan pada seluruh keluarga. Karena aku sendiri belum begitu kuat kalau harus mengatakan adik sudah tidak ada. Namun kalau bukan aku, siapa lagi yang harus mengabarkan kepada seluruh sanak keluarga. Akhirnya dengan segala kekuatan dan memohon kekuatan kepada Allah, aku harus memberanikan diri mengabarkan kepada setiap sanak keluarga kalau adik sudah tidak ada.

Kamu tahu dik, betapa mereka semua sayang sama adik. Tangis mereka terdengar di ujung telepon sesaat aku mengabarkan kalau adik tidak ada. Bukan sanak keluarga saja yang sayang sama adik. Tapi seluruh warga kampung dik, mereka sayang kamu dik. Tidak kah kau tahu saat adik dibawa pulang. Semua masyarakat berbondong-bondong menyambut kedatanganmu dik. Semua melebur jadi satu menyambut kehadiranmu dik. Mereka semua sayang sama adik dan sangat kehilangan adik.

Kini 100 hari sudah adik meninggalkan kami semua. Senyum adik hanya bisa aku lihat dalam penjara bingkai kenangan. Selamat jalan adik, aku tahu inilah yang terbaik dari Allah. Adik telah bersama pemilik yang sebenarnya. Adik akan selalu hidup bersama kami, doa kami selalu terpanjat untukmu dik. Semoga adik tenang di sisiNya dan dimasukkan ke dalam syurga-Nya….

allahummaghfirlaha warhamha wa’fuanha

Aamiin….

Sunday, June 19, 2011









Football News

 

© Copyright MABRURI 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.